Refleksi Pergerakan Menyambut Munas IKA PMII

Zaenuddin Endy, Wakil Sekretaris PW IKA PMII Sulsel

NUSALINE.COM — Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKA PMII) merupakan wadah berkumpulnya para alumni yang pernah berjuang dalam PMII saat masih menjadi mahasiswa. Sebagai organisasi yang lahir dari rahim Nahdlatul Ulama (NU), PMII memiliki sejarah panjang dalam mengawal perubahan sosial, politik, dan kebangsaan. Namun, di tengah dinamika yang berkembang, pertanyaan besar yang muncul adalah: apakah IKA PMII hari ini masih segarang pergerakannya seperti saat mereka masih menjadi kader mahasiswa?

Sejarah telah mencatat bahwa kader-kader PMII di masa mahasiswa memiliki militansi tinggi dalam menyuarakan perubahan dan membela kepentingan rakyat. Dari isu demokrasi, keadilan sosial, hingga pembelaan terhadap kaum tertindas, PMII selalu berada di garda terdepan. Mahasiswa PMII tidak hanya berteriak di jalanan, tetapi juga aktif dalam diskusi, kajian strategis, dan gerakan intelektual yang melahirkan pemikiran-pemikiran progresif.

Ketika kader PMII lulus dan beralih ke IKA PMII, idealisme itu seharusnya tidak luntur. Namun, yang terjadi sering kali adalah pergeseran orientasi dari pergerakan ke pragmatisme politik. Banyak alumni PMII yang terlibat dalam pemerintahan, partai politik, maupun sektor swasta, tetapi perannya tidak selalu sekuat ketika mereka masih menjadi mahasiswa.

Munas IKA PMII seharusnya menjadi momentum refleksi: apakah peran alumni masih setajam saat mereka menjadi kader? Apakah semangat perubahan dan perjuangan masih melekat, atau justru melemah akibat kepentingan pragmatis? Ini adalah pertanyaan yang harus dijawab dengan jujur oleh para alumni yang kini menduduki posisi strategis di berbagai sektor.

Saat menjadi mahasiswa, kader PMII berani bersuara lantang terhadap ketidakadilan, bahkan menghadapi represi dengan kepala tegak. Tetapi ketika sudah menjadi bagian dari sistem, banyak yang justru menjadi lebih kompromistis. Tentu tidak salah beradaptasi dengan realitas politik, tetapi jika adaptasi itu mengorbankan nilai perjuangan, maka di situlah titik lemahnya.

Dulu, PMII dengan idealismenya mampu menggerakkan ribuan mahasiswa untuk turun ke jalan menuntut reformasi. Mereka berdebat dengan tajam dalam forum-forum akademik, menggugat kebijakan pemerintah, dan mengawal demokrasi. Namun, kini tidak sedikit alumni yang justru ikut dalam arus kekuasaan tanpa membawa perubahan berarti.

Bukan berarti seluruh alumni PMII kehilangan semangat pergerakan. Masih ada yang tetap kritis, tetap memperjuangkan nilai-nilai keislaman dan kebangsaan, serta tetap menjaga integritas. Namun, jumlahnya semakin mengecil dibandingkan dengan mereka yang lebih memilih jalur aman dalam struktur kekuasaan.

Munas IKA PMII harus menjadi arena evaluasi dan pembenahan. Jika pergerakan PMII dulu dikenal progresif, maka alumni juga harus tetap progresif dalam berbagai posisi yang mereka tempati. Sebagai bagian dari masyarakat sipil, alumni PMII memiliki tanggung jawab untuk tetap menjaga kritisisme terhadap kebijakan negara.

Salah satu tantangan besar bagi IKA PMII adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara keterlibatan dalam sistem dan tetap menjaga idealisme pergerakan. Jika hanya menjadi bagian dari kekuasaan tanpa membawa agenda perubahan, maka eksistensi IKA PMII akan semakin kehilangan makna.

Dulu, saat menjadi mahasiswa, kader PMII tanpa takut menghadapi berbagai tantangan untuk menyuarakan keadilan. Namun, kini banyak alumni yang justru memilih diam atau bahkan ikut menikmati status quo. Ini adalah realitas yang harus diubah jika IKA PMII ingin tetap relevan dalam perjalanan bangsa.

Sebagai organisasi yang lahir dari tradisi intelektual dan pergerakan, IKA PMII seharusnya menjadi kekuatan moral yang mampu mengarahkan bangsa ini ke arah yang lebih baik. Dengan sumber daya yang dimiliki, IKA PMII bisa menjadi kelompok penekan yang mengingatkan pemerintah untuk tetap berpihak kepada rakyat.

Munas ini seharusnya bukan hanya menjadi ajang seremonial, tetapi menjadi momentum strategis untuk merumuskan langkah nyata. Bagaimana IKA PMII bisa kembali menjadi kekuatan perubahan? Bagaimana alumni bisa menggunakan posisi mereka untuk membawa manfaat bagi masyarakat, bukan hanya bagi kelompoknya sendiri?

Jika PMII sebagai organisasi mahasiswa bisa begitu dahsyat dalam melakukan pergerakan, maka IKA PMII harusnya bisa lebih dahsyat lagi. Dengan pengalaman, jaringan, dan sumber daya yang lebih besar, alumni memiliki modal untuk melakukan perubahan yang lebih konkret.

Kekuatan IKA PMII tidak boleh hanya terlihat dalam urusan politik praktis, tetapi juga dalam pemberdayaan masyarakat, pendidikan, ekonomi, dan kebijakan publik. Alumni PMII yang ada di parlemen, birokrasi, maupun dunia usaha harus tetap memegang teguh nilai perjuangan yang dulu mereka gaungkan saat masih mahasiswa.

Munas IKA PMII harus menjadi titik balik untuk menghidupkan kembali semangat pergerakan. Alumni harus menunjukkan bahwa mereka tidak hanya sekadar berkumpul dan bernostalgia, tetapi juga memiliki agenda besar untuk kepentingan rakyat dan bangsa.

IKA PMII harus membuktikan bahwa mereka tidak kalah militan dibandingkan dengan saat mereka masih menjadi mahasiswa. Justru dengan pengalaman dan jaringan yang lebih luas, alumni seharusnya bisa bergerak lebih strategis dan lebih berpengaruh dalam membawa perubahan bagi Indonesia.

Penulis :Zaenuddin Endy
Wakil Sekretaris PW IKA PMII Sulawesi Selatan

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *