Pemikiran Pendidikan Anregurutta KH. Muhammad As’ad

Zaenuddin Endy, Ketua Harian DPP RHMH Aljunaidiyah Biru Bone

NUSALINE.COM — Anregurutta KH. Muhammad As’ad adalah seorang ulama besar dari Sulawesi Selatan yang lahir di Makkah pada 12 Rabiul Akhir 1326 H/1908 M. Ayahnya, Syekh Haji Abdul Rasyid, adalah seorang ulama Bugis yang cukup lama bermukim di Tanah Suci, sementara ibunya bernama Hajjah Saleha binti Haji Abdur Rahman.

Sejak kecil, As’ad telah dididik dalam lingkungan islami. Hari-harinya banyak dihabiskan di Masjidil Haram, menimba ilmu dari para ulama setempat, sehingga kecintaannya terhadap agama tumbuh dengan kuat.

Pada usia 14 tahun, Muhammad As’ad sudah mampu menghafal Al-Qur’an 30 juz, sebuah pencapaian yang luar biasa di usia muda. Ia bahkan dipercaya menjadi imam shalat tarawih di Masjidil Haram. Awalnya, pendidikan As’ad hanya berasal dari kedua orang tuanya sendiri, tetapi kemudian ia belajar secara formal di Madrasah Al-Falah, salah satu lembaga pendidikan ulama yang paling terkenal di Makkah pada masa itu.

Di Madrasah Al-Falah, ia belajar berbagai disiplin ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqih, dan bahasa Arab. Selain itu, ia membaca banyak kitab klasik seperti Safinah an-Najah, Zubdah al-Aqa’id, Jurumiyah, dan Syarh Dahlan. Pada usia 16 tahun, As’ad sudah mampu menghafal Alfiyah Ibnu Malik, yaitu 1000 bait matan tentang ilmu nahwu dan sharaf.

Muhammad As’ad sangat aktif dalam mengikuti halaqah-halaqah di Masjidil Haram. Ia lebih suka menghabiskan waktunya di majelis para ulama dibandingkan bermain atau bersantai. Ia juga pernah melakukan perjalanan ke Madinah untuk menimba ilmu lebih dalam dari para ulama besar yang ada di sana.

Di antara guru-gurunya di Makkah adalah Syekh Hasyim Nadhirin, Syekh Umar Hamdani, Syekh Jamal al-Malikiy, Syekh Said al-Yamani, Syekh Hasan Yamani, Syekh Hasan Abdul Jabbar, dan Syekh Ambo Wellang al-Bugisi. Selain itu, ia juga berguru kepada Sayyid Ahmad Syarif al-Sanusi, seorang ulama besar yang kemudian memberikan ijazah kepadanya untuk berfatwa di Makkah.

Meskipun memiliki kesempatan untuk tetap tinggal di Makkah dan berkarier sebagai ulama di sana, Muhammad As’ad memilih jalan lain. Ia merasa bertanggung jawab untuk mengembangkan pendidikan Islam di tanah leluhurnya, Sulawesi Selatan. Pada tahun 1928, ia pun pulang ke Indonesia untuk mengamalkan ilmunya.

Setelah tiba di Indonesia, Muhammad As’ad tidak langsung kembali ke kampung halaman ayahnya di Tosora, Wajo. Ia terlebih dahulu menetap di Sengkang, yang saat itu menjadi pusat Kerajaan Wajo. Di sinilah ia memulai kiprah dakwahnya sebagai pengajar di majelis taklim.

Pada tahun 1930, ia mendirikan sebuah madrasah di samping Masjid Jami Sengkang yang diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI). Lembaga pendidikan ini menjadi cikal bakal berdirinya Pesantren As’adiyah, salah satu pesantren terbesar di Sulawesi Selatan.

Atas dukungan pemerintah Kerajaan Wajo, tokoh agama, dan masyarakat setempat, madrasah ini kemudian dibangun secara permanen. Dari sinilah, Muhammad As’ad banyak melahirkan generasi ulama yang berperan dalam perkembangan Islam di Sulawesi Selatan.

Selain mendirikan madrasah, Muhammad As’ad juga membangun lembaga pendidikan khusus tahfiz Al-Qur’an di Masjid Jami Sengkang. Program tahfiz ini bertujuan untuk mencetak generasi penghafal Al-Qur’an yang memiliki pemahaman mendalam terhadap ajaran Islam.

Pendidikan di MAI menekankan pada ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja). Tujuan utama pendidikan yang dikembangkan Muhammad As’ad adalah mencetak insan yang bertakwa, berilmu, dan berakhlak mulia. Ia menginginkan lulusan pesantren tidak hanya mahir dalam ilmu agama, tetapi juga siap menjadi pemimpin umat.

Dalam sistem pendidikannya, Muhammad As’ad menerapkan metode Majelisul Qurra’ Wal-Huffazh, yang mengajarkan 12 cabang ilmu agama. Ilmu-ilmu tersebut meliputi nahwu, sharaf, bayan, ma’ani, badi’, fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadits, musthalah hadits, tauhid, dan mantiq.

Selain itu, ia juga membangun jaringan ulama yang kuat dengan mendidik santrinya agar dapat berkontribusi dalam dakwah Islam di berbagai daerah. Para santri yang dididiknya tidak hanya belajar ilmu agama, tetapi juga diajarkan bagaimana cara menyebarkan Islam dengan bijak di tengah masyarakat.

Salah satu aspek yang paling ditekankan Muhammad As’ad dalam pendidikannya adalah adab santri. Baginya, ilmu tanpa adab tidak akan membawa manfaat. Ia mengajarkan para santrinya untuk menjaga tata krama dalam belajar, berbicara, dan bersikap terhadap guru serta teman-teman.

Muhammad As’ad sangat disiplin dalam mendidik santri. Ia bahkan pernah mengusir seorang santrinya karena bercanda saat makan. Baginya, disiplin adalah kunci utama dalam keberhasilan seseorang dalam menuntut ilmu.

Waktu adalah hal yang sangat berharga bagi Muhammad As’ad. Ia menekankan pentingnya mengelola waktu dengan baik, sehingga para santrinya tidak membuang-buang waktu dalam hal yang tidak bermanfaat.

Santri yang belajar di bawah bimbingannya tidak hanya disiapkan untuk menjadi individu yang baik, tetapi juga dipersiapkan untuk menjadi ulama yang dapat memberikan perubahan di tengah masyarakat.

Di pesantren yang didirikannya, Muhammad As’ad mengajarkan bahwa ilmu harus diamalkan dan diajarkan kembali. Oleh karena itu, ia selalu mendorong santrinya untuk aktif mengajar dan berdakwah di berbagai tempat.

Pendekatan yang ia terapkan dalam pendidikan sangat sistematis dan berorientasi pada pembentukan karakter. Ia percaya bahwa pendidikan tidak hanya sekadar menyampaikan ilmu, tetapi juga membentuk kepribadian yang kokoh dan berakhlak mulia.

Berkat jasa-jasanya dalam dunia pendidikan Islam, Anregurutta Muhammad As’ad dikenang sebagai salah satu ulama besar Sulawesi Selatan yang memberikan kontribusi besar dalam pengembangan pesantren dan kaderisasi ulama.

Pada kesimpulannya bahwa pemikiran pendidikan Anregurutta KH. Muhammad As’ad berorientasi pada keseimbangan antara ilmu agama, adab, dan disiplin. Dengan latar belakang keilmuan yang kuat dari Makkah, ia membangun sistem pendidikan pesantren yang tidak hanya menekankan pada hafalan, tetapi juga pada pemahaman mendalam terhadap Islam.

Pesantren As’adiyah yang didirikannya menjadi salah satu pusat pendidikan Islam terbesar di Sulawesi Selatan, mencetak banyak ulama dan pemimpin umat. Dengan metode pembelajaran yang ketat namun penuh kasih sayang, ia berhasil membentuk generasi yang siap berdakwah dan mengabdikan diri kepada masyarakat.

Warisan intelektual dan moral yang ditinggalkannya masih terus hidup hingga saat ini, menginspirasi banyak ulama dan santri dalam menjalankan tugas dakwah Islam.

Penulis: Zaenuddin Endy
Komunitas Pecinta Indonesia dan Ulama (KoPInU)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *