NUSALINE.COM — Dalam sebuah esai yang ditulis oleh Prof. Hamdan Juhannis, “Menggali Kesejatian (10)”, terdapat ironi yang begitu nyata dalam dunia akademik era digital. Ia menggambarkan bagaimana para dosen-dosen menghadiri pelatihan penggunaan ChatGPT, seolah-olah kecerdasan buatan telah menjadi bagian tak terelakkan dari dunia intelektual. Sebuah ironi yang menggelitik: mereka yang seharusnya menjadi pilar pemikiran justru dengan antusias mempelajari cara agar mesin bisa menggantikan sebagian tugas intelektual mereka. Jika dulu seorang dosen adalah gudang ilmu yang menyebarkan cahaya bagi mahasiswa, kini sebagian mulai bertanya, apakah mereka tetap menjadi sumber otoritatif, atau sekadar perantara yang mengandalkan teknologi untuk menjawab segala persoalan?
Ironi ini semakin mencolok ketika kita menyadari bahwa era digital, yang sejatinya menawarkan akses tanpa batas terhadap ilmu pengetahuan, justru membuat manusia semakin malas berpikir secara mendalam. Di ruang akademik yang megah dan bercahaya, tempat intelektualitas mestinya berkembang, banyak yang justru kehilangan semangat untuk menulis dan meneliti dengan sepenuh hati. Dulu, seorang akademisi harus berkeringat mencari referensi, berkunjung ke perpustakaan, membaca puluhan buku, dan menyusun pemikirannya dengan teliti. Kini, cukup dengan mengetik beberapa kata kunci, sebuah artikel dapat muncul dalam hitungan detik, siap untuk dikutip atau bahkan diambil tanpa refleksi mendalam.
Sebagai kaum cendekia, kita mestinya tetap memegang prinsip keilmuan yang jujur dan penuh integritas. Namun, tidak sedikit yang lebih memilih jalan pintas. Fenomena copy-paste, parafrase otomatis, dan pengeditan minimal demi menghindari deteksi plagiasi telah menjadi praktik umum di berbagai institusi pendidikan tinggi. Gelar akademik yang dulunya diperoleh dengan perjuangan intelektual yang berat, kini bisa didapatkan dengan sedikit manipulasi teknologi. Bahkan, ada yang beranggapan bahwa selama tulisan itu bisa lolos dari perangkat seperti Turnitin, maka itu bukanlah plagiasi. Sebuah pemikiran pragmatis yang membahayakan substansi akademik.
Apakah para dosen yang menyandang gelar Doktor atau Profesor masih benar-benar menulis sendiri karya-karyanya? Ataukah cukup menyalin dari berbagai sumber, melakukan sedikit modifikasi, lalu mengklaimnya sebagai hasil pemikiran orisinal? Tidak ada yang bisa memastikan dengan mutlak. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak tulisan akademik hari ini lebih merupakan hasil rekayasa teknis dibandingkan dengan buah pemikiran yang benar-benar lahir dari proses kontemplasi yang mendalam. Bahkan, beberapa akademisi mulai terbiasa dengan metode “menjahit” berbagai tulisan yang sudah ada, sehingga tampak seolah-olah hasil tersebut benar-benar murni.
Ironi intelektual ini mengingatkan saya pada pengalaman pribadi ketika menempuh pendidikan Strata Dua. Pada masa itu, belum ada alat pendeteksi plagiasi seperti Turnitin yang kini menjadi standar di berbagai institusi akademik. Namun, ada dosen-dosen yang memiliki intuisi tajam dalam mengenali apakah sebuah tulisan benar-benar hasil pemikiran mahasiswa atau sekadar hasil jiplakan. Salah satu pengalaman paling berkesan adalah ketika saya menyusun makalah hanya dalam satu atau dua hari menjelang presentasi. Biasanya, saya membaca beberapa buku, menyalin bagian yang relevan, lalu mengembangkan tulisan saya berdasarkan bahan yang sudah saya kumpulkan.
Namun, suatu hari saya benar-benar kehabisan waktu. Saya baru menyadari bahwa besok adalah jadwal presentasi, dan saya belum menulis satu kata pun. Dengan panik, saya mencari teman yang sudah menyelesaikan makalahnya di kelas lain. Saya akhirnya mendapatkan salinan makalahnya, lalu dengan cepat mengganti namanya dengan nama saya sendiri. Saat tiba waktu presentasi, saya menyerahkan makalah itu kepada dosen pemangku mata kuliah, almarhum Anregurutta Dr. Harifuddin Cawidu. Beliau membuka makalah saya, membolak-balik beberapa halaman, lalu menatap saya dengan sorot mata yang tajam.
“Saya merasa makalah ini mirip dengan yang saya terima dari kelas lain,” kata beliau dengan nada tenang namun penuh makna. Saat itu, jantung saya berdegup kencang. Namun, beliau tetap mempersilakan saya untuk mempresentasikan makalah tersebut. Saya pun mencoba bertahan dengan satu strategi: saya harus mempresentasikan tanpa membaca teks makalah sama sekali. Saya sudah membaca makalah itu semalam, jadi saya berusaha menjelaskan isinya dengan bahasa saya sendiri, menyusun argumen berdasarkan pemahaman yang telah saya serap.
Momen itu menjadi pelajaran penting bagi saya. Plagiasi bukan hanya tentang apakah seseorang dapat lolos dari deteksi perangkat lunak atau tidak. Ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar menghindari kesalahan teknis: sebuah kejujuran intelektual. Dosen yang berpengalaman tidak hanya menilai dari kesamaan kata-kata, tetapi juga dari kedalaman pemikiran, cara seseorang menyampaikan argumen, dan konsistensi logika dalam presentasi.
Dalam konteks era digital saat ini, tantangan kejujuran intelektual semakin besar. Kini, bukan hanya makalah mahasiswa yang bisa direkayasa, tetapi bahkan penelitian akademik tingkat tinggi bisa dihasilkan dengan bantuan teknologi. Dengan kemampuan AI yang semakin canggih, seseorang bisa menulis artikel jurnal dalam hitungan menit, mengeditnya agar tampak akademis, lalu mengklaimnya sebagai karya ilmiah yang sah. Jika tren ini terus berlanjut, maka nilai dari sebuah gelar akademik bisa semakin terkikis.
Lebih dari sekadar alat bantu, AI seperti ChatGPT kini telah menjadi “penasihat intelektual” bagi banyak akademisi. Sebagian menggunakannya sebagai mitra untuk mengembangkan pemikiran, tetapi tidak sedikit yang menggunakannya sebagai jalan pintas untuk menghasilkan tulisan instan. Pertanyaannya, jika sebuah karya ilmiah lahir tanpa melalui pergulatan pemikiran yang sebenarnya, apakah masih pantas disebut sebagai buah karya intelektual?
Dunia akademik tidak boleh terjebak dalam jebakan kenyamanan teknologi. Kecepatan dan kemudahan yang ditawarkan oleh era digital seharusnya tidak mengorbankan substansi dan integritas keilmuan. Justru, inilah saatnya bagi para akademisi untuk lebih kritis, tidak hanya terhadap perkembangan teknologi, tetapi juga terhadap diri mereka sendiri. Mampukah mereka mempertahankan keaslian pemikiran mereka di tengah gempuran mesin yang semakin cerdas?
Akademisi sejati bukan hanya mereka yang mampu menerbitkan banyak tulisan, tetapi mereka yang tetap memegang teguh nilai-nilai kejujuran intelektual. Dunia akademik akan tetap hidup jika para cendekiawannya masih berusaha berpikir secara mandiri, tidak sekadar bergantung pada teknologi yang serba instan. Sebab, sejatinya ilmu bukan hanya soal seberapa banyak yang tertulis, tetapi seberapa dalam pemahaman yang terbangun.
Era digital bisa menjadi berkah atau musibah bagi dunia akademik, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Jika kita memilih untuk tetap menulis, berpikir, dan menggali makna dengan sungguh-sungguh, maka teknologi hanya akan menjadi alat bantu, bukan pengganti. Namun, jika kita menyerahkan seluruh proses intelektual kepada mesin, maka yang tersisa hanyalah gelar tanpa makna, akademisi tanpa substansi, dan ilmu yang semakin kehilangan ruhnya.
Penulis: Zaenuddin Endy
Ketua Harian DPP RHMH Aljunaidiyah Biru Bone