Jejak Spiritualitas Mursyid Tarekat Khalwatiyah:Sayyid Ali bin Zainuddin Petta Tila

Oleh: Zaenuddin Endy
(Koordinator Lajnah Ta’lif Wa An Nasyr Thariqiyah Imdadiyah JATMAN Sulawesi Selatan)

Sayyid Ali bin Zainuddin Petta Tila adalah salah satu figur penting dalam sejarah penyebaran tarekat Khalwatiyah di Sulawesi Selatan. Namanya sering disebut dalam silsilah rohaniah yang berakar pada tradisi sufisme, khususnya di kawasan Pangkep dan Makassar. Kehadirannya tidak hanya menandai kesinambungan estafet spiritual dari generasi sebelumnya, tetapi juga memperlihatkan bagaimana ajaran-ajaran tasawuf diadaptasi ke dalam konteks budaya dan religius masyarakat Bugis-Makassar pada abad ke-18.

Pulau Badi’, sebuah pulau kecil di Pangkep, tercatat sebagai salah satu pusat aktivitas keagamaan yang dihidupkan oleh Sayyid Ali. Dari pulau ini, beliau menjalankan dakwah dan pengajaran, baik melalui jalur tarekat maupun lewat interaksi sosial sehari-hari. Pulau yang strategis itu kemudian menjadi titik pertemuan antara spiritualitas Islam dengan dinamika sosial kemaritiman masyarakat pesisir. Jejak ini memperlihatkan bahwa sufisme tidak lahir di ruang hampa, melainkan hadir dalam dialektika antara ajaran universal Islam dan kebutuhan lokal masyarakat.

Sayyid Ali merupakan putra dari Sayyid Zainuddin Assegaf, seorang mursyid yang telah lebih dahulu menanamkan dasar-dasar spiritual Khalwatiyah di kawasan tersebut. Dari ayahnya inilah, Sayyid Ali menerima ijazah tarekat sekaligus amanah untuk melanjutkan kepemimpinan rohaniah. Warisan ini menunjukkan pola transmisi ilmu yang ketat, di mana sanad keilmuan dan spiritual harus jelas dan bersambung. Hal ini pula yang menjadikan tarekat Khalwatiyah mampu menjaga otoritas dan keaslian ajarannya di tengah arus perubahan zaman.

Di tangan Sayyid Ali, Khalwatiyah semakin mendapatkan tempat dalam kehidupan masyarakat. Beliau tidak hanya mengajarkan wirid dan dzikir, tetapi juga menanamkan nilai etika yang menyatu dalam kehidupan sosial. Prinsip-prinsip kerendahan hati, kesabaran, dan keteguhan iman menjadi ciri yang membedakan pengikut tarekat dengan masyarakat umum. Dengan demikian, Khalwatiyah di Sulawesi Selatan bukan hanya praktik ibadah batin, tetapi juga menjadi modal sosial yang memperkuat kohesi masyarakat.

Kepemimpinan spiritual Sayyid Ali juga terlihat dari keberhasilannya melahirkan generasi penerus yang kelak menjadi tokoh penting dalam silsilah tarekat. Beberapa nama seperti Sayyid Hasan Assegaf Petta Bobba, Sayyid Ibn Hajar Assegaf Petta Sese, dan Abdul Malik Assegaf Petta Rabba muncul sebagai penerus estafet rohaniah. Melalui jalur inilah ajaran Khalwatiyah tetap hidup, bergerak dari satu generasi ke generasi lain, bahkan hingga memasuki era modern.

Salah satu kekuatan utama dari tradisi yang diwariskan Sayyid Ali adalah kemampuannya beradaptasi. Di tengah masyarakat Bugis-Makassar yang memiliki sistem nilai lokal seperti siri’ na pacce, ajaran sufisme Khalwatiyah menemukan ruang untuk berdialog dan berasimilasi. Nilai-nilai kesetiaan, solidaritas, dan penghormatan terhadap martabat manusia dipadukan dengan ajaran-ajaran spiritual Islam, sehingga menghasilkan bentuk religiusitas yang khas.

Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan tokoh seperti Sayyid Ali telah memberi warna dalam perkembangan Islam di Sulawesi Selatan. Dalam perspektif historis, beliau adalah representasi dari jaringan ulama Hadrami yang berperan besar dalam Islamisasi dan spiritualisasi kawasan timur Indonesia. Kehadiran mereka memperkuat simpul-simpul keislaman yang tidak hanya bersifat fiqh, tetapi juga tasawuf, yang lebih dekat dengan kehidupan batin masyarakat.

Jejaknya di Pulau Badi’ tidak hanya bersifat lokal, melainkan juga menjadi bagian dari sejarah lebih luas tentang peran sufi dalam mengintegrasikan Islam dengan tradisi setempat. Jika ditelusuri lebih jauh, jaringan Khalwatiyah yang berkembang dari Makassar hingga pesisir timur Indonesia, memiliki keterkaitan erat dengan dinamika spiritual yang dibangun oleh tokoh-tokoh seperti Sayyid Ali. Dengan demikian, keberadaannya tidak dapat dipandang sebagai fragmen kecil, melainkan sebagai simpul penting dalam sejarah Islam Nusantara.

Warisan yang ditinggalkan Sayyid Ali bukan hanya berupa amalan dzikir atau silsilah tarekat, tetapi juga nilai-nilai yang terus hidup di tengah masyarakat. Hingga kini, tradisi Khalwatiyah masih menjadi bagian penting dari kehidupan keagamaan masyarakat di Pangkep, Makassar, dan sekitarnya. Hal ini menunjukkan bahwa spiritualitas yang dibangun dengan ketulusan dan kedalaman makna akan memiliki daya tahan yang luar biasa.

Dalam konteks akademik, figur seperti Sayyid Ali bin Zainuddin Petta Tila memberi bahan refleksi tentang bagaimana proses lokalisasi ajaran Islam berlangsung. Beliau menjadi contoh bagaimana sebuah tarekat internasional seperti Khalwatiyah mampu diterima oleh masyarakat lokal, tanpa kehilangan ruh universalitasnya. Integrasi ini menjadi model yang dapat dikaji lebih jauh untuk memahami dinamika keberagamaan di Nusantara.

Kisah Sayyid Ali juga memperlihatkan bahwa peran ulama dan sufi tidak hanya terletak pada penyebaran doktrin, tetapi juga pada pembentukan struktur sosial yang berkeadaban. Dalam banyak kasus, tarekat justru berfungsi sebagai ruang pembinaan moral, solidaritas, bahkan resistensi terhadap kekuatan eksternal yang berpotensi melemahkan masyarakat. Dengan demikian, jejak beliau adalah jejak yang sarat makna sosial sekaligus spiritual.

Jika melihat kesinambungan hingga hari ini, maka Sayyid Ali dapat ditempatkan sebagai salah satu figur transformatif dalam sejarah tarekat di Sulawesi Selatan. Ia bukan hanya pewaris, tetapi juga inovator yang mampu menjadikan Khalwatiyah sebagai jalan spiritual yang relevan dengan konteks masyarakatnya. Relevansi inilah yang membuat Khalwatiyah tetap bertahan, meskipun banyak aliran atau gerakan keagamaan lain datang silih berganti.

Jejak Sayyid Ali bin Zainuddin Petta Tila pada akhirnya adalah jejak sebuah perjalanan spiritual yang menembus ruang dan waktu. Dari Pulau Badi’ yang kecil, pengaruhnya menjalar ke berbagai kawasan, meninggalkan warisan yang masih dirasakan hingga kini. Spiritualitas yang ia tanamkan tetap menjadi cahaya yang menuntun banyak orang untuk menemukan kedekatan dengan Allah, sekaligus menjaga harmoni dalam kehidupan sosial.

Dengan demikian, perjalanan hidup Sayyid Ali bukan sekadar catatan sejarah, melainkan juga inspirasi tentang bagaimana iman, tasawuf, dan budaya dapat berpadu untuk melahirkan sebuah tradisi keagamaan yang kuat dan lestari. Namanya akan terus dikenang, bukan hanya sebagai mursyid Khalwatiyah, tetapi juga sebagai simbol ketulusan dan kedalaman spiritual di tanah Sulawesi Selatan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *