Setelah Pemilu 17 April, Belajarlah dari Doa Nasaruddin Umar, Imam Besar Istiqlal

Oleh Aswab Mahasin

Ada momen mengharukan saat debat terakhir capres-cawapres untuk pemilu kemaren, doa bersama yang dipimpin Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, sangat menyentuh. Melalui doanya Prof. Nasaruddin mengingatkan kita semua tentang pentingnya rasa syukur, beliau menggambarkan, Indonesia adalah bagian besar rencana Tuhan, takdir keindahan yang dianugerahkan Tuhan kepada Indonesia luar biasa: tanah subur, laut kaya, stabilitas keamanan terkendali, dan termasuk negara demokrasi terbesar.

Prof. Nasaruddin (dalam doanya) menyadarkan kita semua, Indonesia sebagai negara multietnik, ribuan gugusan kepulauan, berbagai macam suku, agama, budaya, bahasa. Tuhan selalu menebarkan cinta kasih-Nya pada Indonesia dengan bingkai emas NKRI: kedamaian.

Bisa dibayangkan bagaimana nasib orang-orang di negara lain (yang masih berkonflik)—belum bebas berekspresi, belum punya keberanian menyatakan sikap politk secara terbuka, mereka masih terseret arus ketidakpastian. Di Indonesia? Anda bebas tertawa, perut Anda kenyang, tidur Anda nyenyak, dan Anda bebas berekspresi.

Rasa haru itu belum berhenti sampai di sini, Prof. Nasaruddin masih melantunkan bait-bait doanya yang indah, beliau memohon agar Indonesia diberikan pemimpin yang terbaik, semua pihak yang terlibat (seluruh penyelenggara) diberi kemampuan dan kekuatan hingga program berakhir dengan lancar, beliau pun tidak lupa mendoakan kedua pasangan capres dan cawapres agar selalu diberikan rahmat kasih sayang Tuhan bagi yang terpilih maupun tidak terpilih, kedua pasangan adalah putera terbaik bangsa.

Puncaknya, beliau memohon kepada Tuhan, mengetuk pintu ar-Rahman ar-Rahim Tuhan agar Tuhan membukakan pintu maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia. Beliau menyadari, mungkin selama masa kampanye berlangsung ada di antara kita (hamba Tuhan) kehilangan kendali, menyebabkan orang lain kecewa, tersinggung, marah—dari lubuk hati paling dalam (sama-sama kita rasakan) memohon pengampunan dari Tuhan.

Beliau berharap kepada Tuhan dengan hati yang ikhlas dan tulus, kiranya Tuhan melapangkan dada seluruh masyarakat Indonesia untuk saling memaafkan, saling menerima satu sama lain, sehingga kita semua kembali menjadi bangsa yang utuh, kuat, dan bersih lahir batin.

Saya kok yakin, doa bersama yang dipimpin Prof. Nasaruddin Umar adalah cahaya yang dapat menghalau keredupan bangsa dan akan menerangi rentang jalan ribuan tahun Indonesia. Ini pertanda bangkitnya “kekuatan lembut” (soft power) berupa kreatifitas dan kedamaian yang menggantikan narasi-narasi rusuh beberapa bulan terakhir ini.

Dalam Al-Qur’an kekuatan lembut (soft power) digambarkan sangat indah dalam surat Al-Hujarat ayat 10, “Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah (islah/rekonsiliasi) di antara kedua saudaramu itu, dan takutlah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat lagi Maha Mengenal.”

Walaupun pahit kenyataan itu, Allah meminta kita untuk menerimanya. Prinsip nrimo (menerima apa adanya) adalah nilai-nilai moral agama yang cinta pada kedamaian dan keharmonisan. Meminjam Toynbee, sikap nrimo adalah salah satu jalan menuju kebenaran dan penyelamatan.

Dan perlu diketahui, nrimo mempunyai dimensi luas, nrimo tidak hanya menerima dalam pengertian sederhana, nrimo mengandung berbagai makna, di dalamnya ada seni bersabar, ikhlas, pasrah, syukur, dan tidak putus asa.

Karena itu, jika manusia dalam dirinya tanpa sikap nrimo, ia bisa terjangkit fanatisme (ketaatan buta) terhadap apapun (agama, capres, pilihan politik, ideologi, dan sebagainya), hal tersebut hanya akan menyuburkan pertentangan dan persaingan di antara manusia, serta melestarikan sejarah panjang pertikaian sesama manusia.

Pernyataan di atas bukan bermaksud menghambat cara pandang manusia dalam melihat gerak-gerik kehidupan. Kita punya kebebasan absolut menegaskan jalan pikiran kita, pendapat kita, dan gaya hidup kita, tetapi sejauh hal tersebut sesuai dengan semangat hidup bersama, bukan semangat menjatuhkan.

Pastinya, segala sesuatu yang dipaksakan itu tidak baik, begitupun kebenaran, kebenaran yang dipaksakan akan menghilangkan kebahagiaan. Karena hidup tidak melulu urusan benar dan salah, yang terpenting sejauh proses hidup itu bisa membuat kita tersenyum, cukup.

Para pemikir dan tokoh agama selalu mencoba merancang bagaimana perdamaian itu hadir agar hidup bersemi dan bersinar. Tetap saja buntu, mudah diteorikan, susah diwujudukan. Di antara kita tak pernah ada kesepakatan standar kedamaian.

Karena itu, kadang saya curiga, jangan-jangan pertentangan sesama manusia ini sudah menstruktur dan mengkulutur. Kita hanya bisa berdamai dengan kelompok kita sendiri, tapi kita tidak bisa berdamai dengan kelompok lain, apa penyebabnya? Kita masih punya sengketa dengan diri kita. Karena itu, mari sama-sama kita selesaikan diri kita masing-masing dari rasa benci, rasa iri, dan rasa dengki.

Benar juga diktum yang mengatakan, “toleransi kita hanya masih sebatas fisik, selebihnya kita mengeluh.” Tapi, bagi saya, itu sudah cukup, karena itulah perdamaian. Indonesia ini sudah darussalam, negara aman, nyaman, dan damai—seperti yang digambarkan Prof. Nasaruddin dalam doanya.

Indonesia ini surga, bukan lagi katanya, memang surga, percayalah! Kita sebagai orang yang terlahir di Indonesia, kebahagiaan kita di sini, dekat dengan orang tua, saudara, sahabat, teman, dan sebagainya.

Kebahagian kita ada di dapur kita, ketika ibu kita memasak makanan kesukaan kita, kebahagiaan kita ada di depan rumah kita, ketika kita menyapa tetangga kita, dan kebahagiaan kita ada di dalam rumah kita, ketika kita berkumpul dengan keluarga.

Bill Gates itu memang kaya, 1.000 triliun kali lipat kekayaannya dari kita, tapi saya tidak yakin Bill Gates lebih bahagia 1.000 triliun kali lipat dari kita. Kitalah yang paling bahagia, tapi setiap lima tahun sekali semarak kebahagiaan kita teramputasi oleh kepentingan para politisi.

Yakinlah, Indonesia sudah damai. Hanya saja kita terlalu menggantungkan kemajuan bangsa ini pada politik seremonial lima tahunan. Sehingga bangsa kita diterpa gelombang badai kebencian, fitnah, dan hoaks—karena yang digunakan adalah hard power (kekuatan kasar), didukung pula dengan seruan people power (ini yang harus kita geser). Kita geser menjadi soft power (kekuatan lembut): ikhlas, sabar, pasrah, dan nrimo. Dengan itu, minimal kita terhindar dari stres, dan tersenyum, cukup.

Wallahu A’lam.

Sumber : islami.co

Tinggalkan Balasan