Oleh: Mohammad Faiz Maulana
Membincang revolusi industri tidak bisa begitu saja mengabaikan nasib manusia di antara gempuran inovasi berbasis teknologi. Fakta sejarah mengungkapkan bahwa ada banyak manusia menjadi korban keganasan teknologi dalam beberapa abad yang lalu, bahkan hingga saat ini. Mesin-mesin menggantikan manusia tanpa perasaan. Manusia mulai kehilangan pekerjaannya, kesenjangan dan kemiskinan muncul perlahan-lahan.
Revolusi industri selalu menciptakan angkatan pengangguran baru. Hal ini disebabkan karena dunia industri terus bergerak mengarah kepada big profits dengan efesiensi modal. Hal ini tentu mengakibatkan pada penghematan sumber daya, dan di sisi lain menuntut adanya peningkatan efektivitas kerja.
Revolusi Industri 4.0 adalah permulaan dari berakhirnya pekerjaan bagi manusia. Kita bisa melihat dari digantikannya tenaga kerja manusia dengan mesin, e-parking, penggunaan uang elektronik atau e-money,pengembangan AI (Artificial Intelegensia), bahkan di beberapa negara Eropa dan Timur Tengah telah gencar-gencarnya membuat robot perang untuk memperkuat keamanan negaranya. Internet of think yang menjadi ciri dari Revolusi Industri 4.0 juga telah mulai dikembangkan dibanyak negara.
Perubahan zaman kian pasti, revolusi industri tidak bisa kita hindari. Lalu, masih adakah pekerjaan di masa depan untuk manusia? Bagaimana nasib buruh?
Era teknologi telah membuka segala kemungkinan di dunia ini. Termasuk kepunahan pekerjaan bagi manusia. Kecepatan dan kecanggihan adalah modal utama teknologi mendegradasi manusia dari peradaban kerja. Lalu apa yang bisa kita lakukan?
Mengembangkan Keterampilan
Mengembangkan keterampilan adalah salah satu upaya manusia keluar dari lubang kepunahan. Laurence Frank (2019), rektor Los Angeles Trade Technical College menyebut perlunya mengebangkan keterampilan baru. Ia menganggap bahwa mempelajari keterampilan baru adalah bagian penting dari ekonomi saat ini.
Frank mengatakan, para pekerja harus senantiasa mempelajari keterampilan baru untuk dapat mengikuti kemajuan teknologi. Sebab teknologi tidak pernah berhenti. Ia akan terus menerus berinovasi.
Maka, penting bagi kita untuk mulai belajar terhadap hal-hal baru di luar apa yang biasanya kita kerjakan. Memikirkan masa depan dengan kemampuan, bukan sekadar mengikuti kehendak tuan.
Humanisme
Selain mengembangkan keterampilan, hal lain yang perlu kita lakukan adalah menjaga humanisme. Di era teknologi yang tak kenal perasaan, humanisme penting untuk membedakan kita dengan teknologi.
Perasaan sayang, cinta, simpati, menghargai, menghormati adalah suara manusia yang tidak mungkin digantikan oleh teknologi. Kita sudah sepatutnya menjaganya, merawatnya di tengah-tengah era teknologi atau di era distrupsi saat ini.
Akhir-akhir ini banyak sekali hal yang terdistrupsi, tidak hanya industri melainkan juga etika kita terhadap sesama manusia. Dalam pandangan Levinas yang etik hilang ketika kita sudah tidak lagi menemukan wajah manusia dalam pandangan kita. Maka Revolusi Industri 4.0 jangan sampai hanya mementingkan teknologi. Kita harus kembali melihat dasar-dasar humanitas: enequality, problem keadilan, problem sustainabelity.
Saya teringat dengan perdebatan yang dilakukan oleh Mark Zukenberg dengan Elon Musk soal Artificial Intelegensia: Elon Musk mengatakan bahwa segala proyek AI harus dihentikan karena akan menggantikan seluruh elemen manusia, sedangkan Mark mengatakan yang paling penting bukanlah apa yang akan menggantikan apa melainkan semua itu tergantung pada man behind the gun, siapa yang menggunakannya, humanity tidak akan pernah terganti.
Selamat Hari Buruh, 1 Mei 2019.
Penulis adalah Pengajar di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta.
Sumber : NU Online