Jakarta, nusaline.com
Presiden Mesir 2012-2013 Mohamed Morsi meninggal dunia setelah menghadapi sidang pengadilannya pada Senin (17/06/2019) di Kairo, Mesir.
Tidak ada sebab resmi meninggalnya presiden pertama Mesir yang terpilih secara demokratis itu. Namun, kritikus menyalahkan kondisi buruk di penjara yang selama kurang lebih enam tahun didekamnya menjadi biang kematiannya.
Morsi terpilih sebagai presiden Mesir setelah berhasil meraup 51,7 persen suara saat Pemilu pertama kali berlangsung di Negeri Kinanah itu. Ia mengalahkan Ahmed Shafik yang memperoleh 48,3 persen suara saja.
Belum genap dua tahun memimpin negeri itu, hanya setahun lebih sedikit, tepatnya pada tanggal 3 Juli 2013, Mursi harus menerima kenyataan ia digulingkan oleh Menteri Pertahanannya, Abdel Fatah el-Sisi yang kini menjadi Presiden Mesir. Gelombang besar demo kembali mengalir sejak dua bulan sebelumnya.
Trias Kuncahyono dalam Tahrir Square, Jantung Revolusi Mesir, mencatat bahwa ada jutaan orang yang meneriakkan tuntutan agar presiden pertama Mesir yang berasal dari sipil itu mundur dalam waktu 48 jam.
Mereka tersebar di berbagai tempat seperti Tahrir Square, Giza, Ismailiya, istana Presiden di Heliopolis, Aleksandria, dan Port Said pada tanggal 30 Juni 2013.
Saat memberhentikan paksa presiden, militer juga membekukan konstitusi sekaligus mengangkat Ketua Mahkamah Konstitusi Tertinggi Mesir Adly Mansour untuk melanjutkan kepemimpinan Mesir sementara.
Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 2010-2015 H As’ad Said Ali menyampaikan bahwa Morsi dipaksa turun dari jabatannya karena memaksakan UUD baru. “Ia memaksakan UUD baru yang hanya didukung rakyat dalam referendum kurang dari 50 persen suara,” tulis As’ad lewat Facebooknya.
Referendum pun, katanya, diboikot karena dianggap bersifat fundamentalistis dan sektarian. Bahkan, lanjutnya, kaum Salafi yang sebelumnya mendukung presiden mencabut dukungannya. “Dan pemerintah Saudi mendukung kudeta militer. Demikian pula, Amerika Serikat yang mendukung kudeta militer tersebut,” katanya.
Dari peristiwa tersebut, ia menyampaikan dua pelajaran penting bagi dunia politik.
Pertama, aspirasi seluruh rakyat, menurutnya, harus diserap secara penuh tanpa pandang bulu. “Ketika berkuasa serap seluruh aspirasi rakyat meskipun tidak seagama atau tidak satu partai,” katanya.
Kedua, biasanya Barat menolak segenap bentuk kudeta mana pun. Namun, dalam kasus Morsi yang juga Ketua Ikhwanul Muslimin Mesir, Barat langsung mendukung kudeta. “Padahal ketika proses pencapresan Arab Saudi dan Amerika Serikat mendukung Mursi,” katanya. (usm/NU Online)