Jakarta, nusaline.com
Lembaga Pendidikan Ma’arif PBNU membahas penyusunan buku ajar Aswaja dan ke-NU-an untuk seluruh tingkat sekolah, yakni dari Madrasah Ibtidaiyah hingga SMA sederajat yang berada di bawah naungan Ma’arif NU. Kegiatan dalam bentuk Focus Group Discussion (FGD) ini diselenggarakan di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Selasa (02/07/2019).
Ketua LP Ma’arif PBNU KH Zainal Arifin Junaidi mengemukakan bahwa selama ini, penyusunan buku ajar dilakukan sendiri-sendiri di beberapa daerah, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta.
Menurutnya, meskipun ketiga wilayah ini berpedoman pada silabus ma’arif pusat, tapi silabus itu disusun pada 2006. Sementara pihaknya mengaku pada pada 2018 sudah menyusun silabus terbaru sesuai dengan kurikulum 2013.
“Dengan kurikulum 2013, metode pengajaran segala macem berubah, evaluasi kan juga berubah, kita juga melihat kebutuhan sekarang ini sesuai dengan perkembangan zaman,” kata Arifin.
Arifin berharap, nantinya melalui pelajaran Aswaja dan ke-NU-an, anak didik mengetahui tentang kedua pelajaran itu. Sementara untuk mengetahuinya, ada empat aspek yang ia tekankan.
Pertama, how to know,yakni bagaimana anak didik mengetahui Aswaja dan NU. “Jadi di sini masalah wawasan, masalah pengetahuan yang diberikan,” ucapnya.
Kedua, how to do, yaitu bagaimana melakukan sesuatu. Menurutnya, NU memiliki banyak tradisi keagamaan yang sudah mengakar, seperti ziarah kubur, istighatsah, dan tahlilan. “Semua itu guru harus mampu menumbuhkan keyakinan yang jadi tradisi dan tradisi yang sudah jadi keyakinan juga,” ucapnya.
Ketiga, how to be, yaitu bagaimana menjadi aswaja dan NU. Caranya dengan memperkenalkan organisasi, struktur tentang NU dan sebagainya.
Keempat, how to live togather, yakni bagaimana hidup dengan orang lain secara harmonis di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
“Keempat aspek ini, saya ingin tercermin di dalam buku-buku yang akan berlaku secara nasional,” ucapnya.
Adapun wilayah-wilayah yang sudah mampu menyusun buku Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DIY harus menyesuaikan dengan kenasionalan silabus.
Hal itu karena banyak daerah yang belum mampu menyusun buku ajar seperti Ma’arif Lampung mengambil dari Jawa Tengah. Ia juga menekankan agar di dalam buku ajar memasukkan unsur lokalitas.
“Saya sampaikan lokalitas itu juga harus dijamin dalam buku ajar kita ini. Ini masuk di dalam silabus, lokalitas ini, Misalnya kalau tokoh pendiri NU secara nasional kan Hadratussyekh KH Hasyim dan KH Wahab Chasbullah.
Mbah Bisri sudah nasional itu sudah pasti, tetapi ditambah tokoh-tokoh pendiri lokal misalnya di Lombok Tuan Guru Shaleh Hambali, Tuan Guru Faisal. Karena apa? how to be menjadi kalau mereka tidak tau tokoh di situ dulu yang mendirikan NU siapa. Lalu pemikirannya seperti apa,” bebernya.
Ia menyatakan bahwa nantinya dua buku ajar ini akan dibikin digital, sehingga wilayah-wilayah yang belum mampu menyusun dipersilakan untuk untuk mencetaknya. (NU Online)