Oleh : Muhammad Hanifuddin
Meskipun sudah beberapa bulan yang lalu, buku terbaru Mas Ulil Abshar Abdalla yang berjudul “Menjadi Manusia Rohani” terbit dan didiskusikan di banyak tempat, namun baru siang ini, Rabu 15 Mei 2019, saya berkesempatan ikut tabarukan. Mendaras dan mendiskusikannya.
Tepatnya ialah saat Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta mengadakan “Tadarus al-Hikam; Menjadi Sufi di Era Milenial”. Dalam pemaparannya, di tengah kecenderungan masyarakat muslim perkotaan yang terjebak pada sisi luaran (eksoteris) agama, kajian tasawuf mendesak untuk didakwahkan. Harapannya, kita dapat beragama secara utuh dan mendalam. Merajut islam, iman, dan ihsan sebagai sebuah kesatuan.
Upaya ini, salah satunya dapat dilakukan dengan kontekstualisasi kitab “al-Hikam” karya Syaikh Ibnu ‘Athai’illah (647-709 H). Kitab yang memuat 264 untaian hikmah ini merupakan khazanah yang telah banyak dikaji dan dijabarkan ulang. Baik oleh ulama klasik maupun kontemporer. Sebagai misal, Syaikh Ibnu ‘Abad (733-792 H), Syaikh al-Syarqawi (1150-1226 H), dan Syaikh Ibnu ‘Ajibah (1162-1224 H). Sedangkan ulama kontemporer, di antaranya adalah Syaikh Muhammad al-Ghazali (1917-1996), Syaikh Sa’id Hawwa (1935-1987), dan Syaikh Ramadhan al-Buthi (1929-2013).
Dalam beberapa tahun terakhir, juga terus bermunculan kitab komentar atas butir-butir kitab “al-Hikam” di atas. Tentunya dengan kekhasan dan kebaruannya masing-masing. Dua di antaranya ialah karya Dr. Jasser Auda yang berjudul “al-Suluk Ma’a Allah (2010) dan “Menjadi Manusia Rohani” (2018) karya Mas Ulil Abshar Abdalla. Kedua karya ini merupakan sumbangan berharga bagi upaya kontekstualisasi kitab “al-Hikam”. Serta pengayaan bagi literatur tasawuf pada umumnya.
Meskipun kedua tokoh ini mensyarah kitab yang sama, akan tetapi kita dapat merasakan kekhasan masing-masing. Tentunya hal ini tidak lepas dari latar belakang keilmuan dan konteks sosial dari keduanya. Jasser Auda, cendekiawan lulusan Universitas Wales Inggris dan Universitas Waterloo Kanada lebih dikenal sebagai pakar maqashid syariah. Sedangkan Mas Ulil tumbuh besar dari pesantren, LIPIA, dan kuliah singkat di Boston University dan Harvard University. Selama ini identik dengan tokoh Islam Liberal yang beberapa tahun terakhir fokus ngaji online kitab “Ihya Ulumiddin” karya Imam al-Ghazali (450-505 H).
Syarah “al-Hikam” karya Jasser Audah lebih menekankan sisi maqashid, khususnya maqashid ‘aqidah. Jasser Auda ingin mengelaborasi kalam-kalam hikmah “al-Hikam” sebagai pintu masuk mengulik esensi aqidah Islam. Selain itu, juga ditunjukkan kaitannya dengan hukum-hukum Allah yang berlaku di alam semesta (sunnatullah). Ditambah lagi, setiap bab dipaparkan pula sandaran ayat al-Qur’an dan hadis. Hal ini untuk menunjukkan bahwa hikmah dan tasawuf tidak lain adalah bentuk pengamalan al-Qur’an dan sunnah.
Di sisi lain, jika kita menelaah syarah “al-Hikam” karya Mas Ulil, akan terasa bauran antara gaya bahasa pesantren tradisional dan istilah-istilah akademis, khususnya kajian ilmu humaniora dan filsafat. Namun demikian, konteks keindonesiaan dan kekinian sangat kental. Hal ini membuat kita selaku pembaca merasa dekat dan akrab. Tidak lain karena titik inilah yang ingin dibidik Mas Ulil. Menjabarkan “al-Hikam” dengan bahasa dan problem keseharian kita. Harapannya, kita mudah tersadarkan atau terteguhkan bahwa beragama tidak cukup hanya memuja simbol saja. Lebih dari itu, ada kedalaman makna yang harus kita hayati dan resapi. Sehingga keberagamaan kita bisa utuh dan mendalam. (Islami.co)