Ikatan Gus: Ulama NU Mulai Digerilya Ikut People Power

Ketua Ikatan Gus-Gus Indonesia (IGGI) KH Ahmad Fahrur Rozi (Gus Fahrur) mengungkapkan adanya gerakkan tersetruktur dan masif dari beberapa kelompok guna mengajak ulama NU mengikuti gerakkan tidak percaya pada pemilu 2019. Gerakkan ini dilakukan dengan menghasut dan berusaha meyakinkan para tokoh dan kiai NU bahwa pilpres 2019 penuh kecurangan sehingga para ulama NU bisa ikut gerakkan People Power.

Seperti yang diberitakan ngopibareng.id, “Mbah Moen (KH Maimoen Zubair) mulai didekati, beberapa ulama sepuh lainnya juga didekati. Saya bahkan juga dihubungi beberapa orang untuk meyakinkan telah terjadi kecurangan dalam pilpres 2019,” kata Gus Fahrur kepada wartawan, Kamis, 9 Mei 2019.

Sebelumnya sempat viral video seorang lelaki mendatangi KH Maimoen Zubair dan berusaha memaksa Mbah Moen mengeluarkan fatwa bahwa pilpres 2019 penuh kecurangan. Meski lelaki yang diketahui bernama Ishaq itu tampak emosional memaksa, namun Mbah Moen tetap minta semuanya menyerahkan hasil pilpres kepada lembaga yang berwenang.

“Jadi ada beberapa orang yang saya kira terstruktur menghubungi saya. Mereka sampai bertanya ke saya bagaimana hukumnya dalam Islam mendukung pemerintah yang menang pemilu secara curang,” kata Gus Fahrur.

Gus Fahrur yang juga pengasuh pesantren An-Nur I, Bululawang, Malang ini mengatakan bahwa semua tuduhan kecurangan harus bisa dibuktikan secara faktual dan diselesaikan secara hukum.

Jangan sampai kecurangan hanyalah sebuah asumsi atau prasangka sepihak yang ujungnya hanya berupa informasi hoax yang tidak bisa dipertanggung jawabkan.

Karenanya, Gus Fahrur minta semua pihak bisa menghormati proses demokrasi yang saat ini sedang berjalan serta bersabar menunggu hasil rekapitulasi nasional hingga diumumkan oleh KPU, sambil memperbanyak ibadah dan berdoa di bulan suci Ramadhan.

Apapun alasannya, menolak hasil pemilu dengan cara yang tidak konstitusional dan berujung pada kekerasan bukanlah cara yang baik dari kacamata agama.

“Secara tinjauan fiqh tidak diperbolehkan melakukan pemberontakan terhadap pemimpin yang sah. Pemberontakan itu disebut bughot dan harus dipadamkan misalnya kasus DI/TII dan Permesta di masa lalu. Untuk mengganti pemerintahan ya harus melalui mekanisme yang disepakati yakni pemilu yang sah. Ini Pemilu sudah berjalan, marilah kita hormati,” kata Gus Fahrur.

Upaya untuk mengajak ulama-ulama NU agar tidak percaya pada pemerintah seperti yang belakangan masif dilakukan, kata Gus Fahrur, juga pernah terjadi pasca kerusuhan Tanjung Priok pada 1984.

“Saat itu, sekelompok orang mendatangi dan mengajak ayah saya alm KH Burhanuddin Hamid, untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah, dengan tegas Ayah saya menolak dan mengutip pendapat ulama salaf bahwa kalaupun pemerintah dzolim itu masih lebih baik daripada kekacauan dan perang,” ujarnya.

Kekacauan di dalam negeri hanya akan membuat rakyat menjadi sengsara, sulit bekerja mencari nafkah dan tidak ada jaminan keamanan. Kecuali, jika seandainya pemimpin telah melarang salat dan menutup pesantren. “Maka saya akan mengangkat senjata melawan,” tegasnya. (man/drj)

Tinggalkan Balasan