Dakwah Nahdlatul Ulama di Dunia Digital belum Kuat, Santri Didorong Bergerak

Peran dakwah Nahdlatul Ulama (NU) tidak perlu diragukan dengan eksistensi pesantren dan madrasah yang menjadi basis utamanya. Tetapi perannya di dunia digital belum kuat. Hal ini muncul pada Forum Diskusi Milenial bertajuk “Merajut dan Memperkokoh Nilai-nilai Kebangsaan dan Keagamaan” di Pondok Pesantren Al-Barokah, Klaten, Sabtu (30/03/2019) yang telah dilansir dutaislam.com

Direktur NU Online Savic Ali masih menyayangkan kondisi gerakan Nahdliyin di era digital. Menurutnya, dakwah di dunia digital Nahdliyin belum kuat.

Bacaan Lainnya

“Tidak seperti di ofline. Kalau di ofline sudah puluhan ribu madrasah dan pesantren dibangun sehingga pemerintah punya kedekatan dengan NU. Namun di dunia online, generasi sekarang, belum kuat,” kata Savic di hadapan ratusan santri NU yang datang dari berbagai utusan pesantren di Jawa Tengah.

Lemahnya gerakan dakwah di dunia digital Nahdliyin, kata Savic, dibuktikan dengan hasil survei akhir 2018 lalu yang menunjukan bahwa ustadz-ustadz yang berpengaruh di media sosial kebanyakan bukan dari kalangan Nahdliyin. Dia mencontohkan, seperti Ustadz Khalid Basalamah, Ustadz Solmed, Ustadz Yusuf Mansur, dll.  

Menurut Savic, ustadz-ustadz tersebut laku di media sosial karena ceramah yang disampaikan sangat aktual dan membahas isu-isu kekinian. Apa yang disampaikan mereka relevan dengan pengetahuan dasar umat Islam. “Masyarakat media sosial, terutama muslim urban butuh itu,” imbuhnya.

Di samping itu, lanjut Savic, website-website keislaman sampai sekarang juga masih dikuasai kelompok yang tidak pro dengan paham Ahlussunnah wal Jamaah. Dari 20 webste keislaman, hanya NU Online yang berada di urutan pertama. Sedangkan yang lainnya, rata-rata milik kelompok yang tidak pro ahlusuunah wal Jamaah.

Oleh karena itu, sudah saatnya santri NU untuk juga bergerak memanfaatkan media sosial sebagai gerakan dakwah. Gerakan santri di dunia digital, menurut Savic, tidak harus dengan membuat website. Karena website membutuhkan tim dan pengelolaan yang baik dan konsisten.

Media sosial menjadi sarana paling mudah yang bisa dilakukan. “Web butuh di-update dan butuh tim. Saran saya mulai dari sosial media,” katanya.

Menggunakan Media sosial, kata Savic, ibarat berjualan di mall. Ketika ada orang yang berkunjung, orang itu tertarik pada apa yang kita jual. Sedangkan membuat website seperti membuat warung sendiri sehingga kalau tidak begitu dikenal maka akan sedikit yang datang.

“Kalau menggunakan media sosial kita seperti membelokkan orang yang datang ke mall agar membeli barang kita. Agar bisa dilirik maka konten yang kita tulis harus berkaitan dengan isu-isu besar,” katanya.

Savic juga mengingatkan, dalam dakwah di media sosial tidak jarang orang akan di-bully. Namun, hal itu haruslah dianggap biasa dan tidak melihat orang yang memberi bulliying sebagai musuh.

“Saya selama beberapa tahun di-bully. Kita harus setenang mungkin karena kita berjuang untuk lebih baik. Yang kita counter adalah gagasan, kita tidak mengobarkan perang,” ucapnya

Tinggalkan Balasan