Jakarta, nusaline.com
Berdasarkan laporan ekspedisi Ibnu Batutah dalam kitab Rihlah Ibnu Bathutah sebagaimana dikutip oleh Musyrifah Sunanto, halaqah adalah lembaga pendidikan yang pertama kali diselenggarakan di Samudera Pasai.
Kegiatan halaqah dilaksanakan di masjid-masjid istana kesultanan bagi keluarga kerajaan dan pembesar istana. Sedangkan bagi masyarakat umum kegiatan ini dilaksanakan di rumah-rumah guru dan surau-surau bagi masyarakat umum.
Selain itu, istana juga membangun tempat mudzakarah sebagai perpustakaan umum dan pusat penerjemahan serta penyalinan kitab-kitab keislaman.
Dalam perkembangannya, lembaga pendidikan Islam di Nusantara pada masa kerajaan-kerajaan Islam setelah halaqah adalah seperti: Dayah & Rangkang di Aceh, Surau di Minangkabau dan Pesantren di Jawa.
Menurut Musyrifah Sunanto, bahwa kegiatan pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan Islam saat itu memiliki kemiripan satu sama lain. Pembelajaran agama bagi ummat Islam ketika itu pada umumnya adalah pengajian Al-Qur’an yang dimulai dengan pengenalan huruf-huruf hijaiyah, kemudian dilanjutkan dengan menghafalkan Juz ‘Amma dan tajwidnya untuk kebutuhan shalat lima waktu.
Kemudian untuk jenjang pendidikan lanjutan diajarkan mata pelajaran Fiqih dan Tasawuf. Selain itu juga diajarkan Kitab Tafsiir, Hadits, Balaghah, dan mantiq di Pesantren Bantoalo di Kerajaan Gowa oleh Syaikh Yusuf Makassari sekembalinya belajar dari Aceh.
Namun, dalam penelusurannya mengenai pendidikan Islam di Nusantara, Musyriah Sunanto melihat kitab-kitab yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan saat itu biasanya merupakan karya ulama Nusantara yang ditulis dalam bahasa Melayu, Sunda atau Jawa. Ada beberapa kitab dalam bahasa Arab tapi jumlahnya terbatas.
Dalam bukunya, Musyrifah Sunanto memaparkan bahwa pengajian agama di daerah Sumatra rata-rata adalah kitab berbahasa Melayu yang ditulis oleh tokoh-tokoh seperti: Syai Nuruddin Ar-Raniri dan Syamsuddin As-Sumatrani.
Sedangkan di Demak, kegiatan pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan kitab pegangan sebagai berikut: (1) Kitab Ushul enam Bis; (2) Tafsir Jalalain; (3) Primbon; dan (4) Suluk.
Kitab Tafsir Jalalain adalah kitab tafsir terkenal di pesantren sampai sekarang yang ditulis oleh: Imam Jalaluddin Al-Suyuthi dan Imam Jalaluddin Al-Mahalli. Kitab Primbon adalah kitab berisi wejangan para wali. Sedang kitab suluk adalah kitab berisi ajaran mistik.
Setelah pusat kerajaan Islam pindah kemaratan Mataram, lembaga pendidikan pesantren yang diselenggarakan oleh kerajaan mengkaji kitab-kitab seperti: (1) Kitab Ushul enam Bis; (2) Taqrib; dan (3) Bidayatul Hidayah. Kitab Ushul enam Bis sendiri adalah kitab tulisan tangan berisi enam Bismillah karya ulama Samarkand mengenai dasar-dasar ilmu keislaman. Kitab Taqrib adalah karya Abu Syuja’ yang terkenal sampai sekarang di pesantren. Sedang Bidayatul Hidayah adalah Karya Al-Ghazali.
Masa Penjajahan Belanda
Pada awalnya, ketika pemerintah Belanda mulai berkuasa pada 1610 M, Belanda membiarkan pendidikan Islam berjalan sedemikian adanya. Namun kemudian Belanda berfikir bahwa kaum santri dan pesantren tidak koperatif dengan mereka, tidak mau dan tidak bisa dipekerjakan untuk kepentingan Belanda ditambah lagi mereka tidak bisa membaca tulisan latin, maka dimulailah usaha-usaha pelemahan terhadap pendidikan pesantren ini.
Belanda kemudian membuat kebijakan-kebijakan yang merugikan dan melemahkan pesantren utamanya setelah perjanjian Giyanti (1755 M). Pihak kolonial berusaha melemahkan Islam seperti: Tanah Pamerdikan untuk Penghulu, Modin, Naib dan Kiai dihapuskan dan dijadikan tanah gabernamen. Hasil zakat yang sebelumnya dibuat untuk membiayai pendidikan dihapus dan dialihkan untuk menggaji penghulu, modin, dan naib sebagai ganti penghapusan tanah pamerdikan yang sebelumnya menjadi hak mereka dan dapat diwariskan.
Hal inilah yang kemudian membuat Pangeran Diponegoro marah dan mengkonsolidasi para ulama untuk melawan Belanda. Dan Akhirnya meletuslah Perang Jawa. Perang ini adalah suatu perang yang menghabiskan banyak energi dan finansial bagi Belanda.
Setelah kekalahan Diponegoro melalui muslihat liciknya, Belanda terus berupaya melemahkan pendidikan Islam di Nusantara. Ia kemudian mengeluarkan berbagai kebijakan-kebijakan seperti: pewajiban izin bagi ulama yang mengajar agama. Peraturan ordonansi sekolah liar, pendirian sekolah belanda di seluruh daerah di Indonesia dan sebagainya.
Dalam pada itu, di tengah upaya pelemahan tersebut, pada tahun 1900, menurut catatan Musyrifah Sunanto, KH Hasyim Asy’ari membuka pesantren di Tebuireng Jombang yang menyelenggarakan pendidikan mulai dari tingkat tinggi sampai tingkat dasar.
Pada pereode ini kitab kuning yang dikaji di pesantren sudah sedemikian banyak dan meliputi kitab-kitab besar yang sebelumnya tak pernah dikaji di lembaga pendidikan di masa kerajaan baik Pasai, Malaka, Aceh, Demak maupun Mataram. Susunan kurikulum pesantren pada masa ini ditandai dengan beberapa hal sebagai berikut: (1) Pembelajaran Al-Qur’an sama seperti sebelum 1900; (2) Pengajian kitab kuning terdiri dari: (a) Nahwu-Shorrof menggunakan kitab-kitab seperti, Jurumiah, Asymawi, Syaikh Kholid, Azhari, Asymuni, Alfiyah, Kailani dan Taftazani, (b) Fiqih meliputi: Fathul Qarib, Fathul Muin, Mahalli dan bahkan sampai kitab Tuhfah dan Nihayah.
Sebagai catatan lagi bahwa kitab-kitab yang digunakan pada masa ini adalah sudah kitab yang tercetak dan bukan kitab tulisan tangan sebagaimana sebelumnya. Rata-rata kitab tersebut dipesan dari Makkah dan Singapura.
Musyrifah Sunanto sekali lagi mengatakan bahwa pada masa pembaharuan pendidikan yang dipelopori KH Hasyim Asy’ari ini, ilmu kegamaan Islam di Nusantara menjadi lebih tinggi (lebih luas). Pada masa ini menurut catatan Sunanto, pelajaran agama Islam di Nusantara sudah hampir menyamai Makkah Al-Mukarramah. Disarikan dari buku: Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Karya: Musyrifah Sunanto (2007). (R. Ahmad Nur Kholis/Muhammad Faizin/NU Online)