NusaLine.com
Layaknya akad-akad yang lain, pernikahan bisa jadi tidak sah (batal dan rusak) bilamana tidak memenuhi syarat dan rukunnya. Dalam kaitan ini, Syekh Wahbah ibn Mushthafa al-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu telah menguraikannya kepada kita semua berdasarkan beberapa pendapat. Namun, mengingat keterbatasan ruang, yang akan diuraikan di sini hanyalah pernikahan batal menurut para ulama Syafi‘iyah saja.
Dijelaskan al-Zuhaili, yang dimaksud pernikahan batal ialah pernikahan yang tidak memenuhi rukun. Sedangkan pernikahan rusak ialah pernikahan yang tidak memenuhi syarat. Namun, baik yang batal maupun yang rusak, oleh para ulama Syafi’iyah, hukumnya tidak dibedakan. Karenanya, tak mengherankan jika jumlah bentuk pernikahan batal ini cukup banyak dan berbeda jumlahnya dengan pendapat mazhab lain.
Selain itu, menurut ulama Syafi’iyah, dalam pernikahan yang batal ini tidak ada konsekuensi apa pun layaknya pernikahan yang sah, seperti mahar, nafkah, mahram pernikahan, nasab, atau iddah (lihat: al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, [Darul Fikr: Damaskus] jilid 9, hal. 6613).
Ada beberapa bentuk pernikahan batal menurut mazhab ini, namun yang paling utama, ungkap al-Zuhaili, ada sembilan.
Pertama, pernikahan syighar. Sebagaimana yang pernah disampaikan, pernikahan syigharadalah pernikahan di mana seorang laki-laki menikahkan putri atau saudari perempuannya dengan laki-laki lain dengan mahar, dirinya dinikahkan dengan putri laki-laki lain tersebut. Contohnya ungkapan akadnya, “Aku nikahkan engkau dengan putriku dengan mahar engkau menikahkanku dengan putrimu.”
Akad ini tidak sah karena ada gabungan dua akad dan menjadikan akad masing-masing sebagai maharnya. Artinya, jika keduanya tidak menggabungkan dua akad dan tidak menjadikan akad masing-masing sebagai maharnya, maka pernikahannya sah. Ketidaksahan pernikahan ini berdasarkan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Tidak ada nikah syighar dalam Islam.” Larangan ini berimplikasi pada rusaknya perkara yang dilarang.
Kedua, pernikahan mut‘ah. Pernikahan mut‘ah adalah pernikahan yang dibatasi oleh waktu tertentu, baik sebentar maupun lama. Contohnya ungkapan laki-laki kepada istri yang ingin dinikahinya, “Aku menikahimu selama satu bulan,” atau, “Aku menikahimu hingga selesai kuliah,” atau “Aku menikahimu sampai aku mencampurimu, hingga engkau halal bagi suami yang telah menalakmu dengan talak tiga.” Mestinya, akad pernikahan dilakukan secara mutlak—tanpa ikatan waktu—dan ditujukan untuk selama-lamanya atau hingga terjadi perceraian yang tak dipersyaratkan sejak akad.
Ketiga, pernikahan orang ihram. Tidak sah pernikahan yang dilakukan oleh orang yang sedang ihram, baik uhram haji, ihram umrah, atau ihram keduanya, baik dengan akad yang sah maupun dengan akad yang rusak, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Orang yang ihram tidak boleh menikah dan tak boleh dinikahkan.” Namun, selain menikah, orang yang sedang ihram boleh melakukan rujuk atau menjadi saksi pernikahan. Pasalnya, rujuk adalah melanjutkan perkawinan, bukan mengawali perkawinan.
Keempat, pernikahan dengan beberapa akad, dimana dua orang wali menikahkan satu orang perempuan dengan dua orang laki-laki. Tidak diketahui secara pasti siapa yang akadnya lebih dahulu. Jika salah seorang laki-laki itu menggaulinya, maka wajib baginya mahar mitsli. Jika keduanya menggaulinya, maka si perempuan berhak mahar mitsil dari keduanya. Pertanyaannya, bagaimana jika diketahui akad yang dilakukan lebih dahulu, maka akad itu yang sah.
Kelima, pernikahan perempuan yang beriddah dan sedang istibra dari mantan suaminya walaupun dari hasil senggama syubhat. Jika laki-laki yang menikahi perempuan beriddah itu menggaulinya, maka ia harus dijatuhi hukuman (had) kecuali jika ia tidak mengetahui status keharaman menikahi dengan perempuan beriddah dan sedang istibra. Orang yang tidak tahu harus dimaafkan, terlebih jika ia awal-awal masuk Islam atau jauh dari para ulama.
Keenam, pernikahan dengan perempuan yang ragu akan kehamilannya sebelum habis masa iddah. Sehingga, haram menikahi perempuan yang seperti itu hingga keraguannya hilang, meskipun masa iddah dengan 3 kali quru (masa suci) telah habis. Keharaman ini lahir dari keraguan tadi. Demikian pula siapa pun yang menikahi perempuan yang diduga masih masa iddah atau sedang istibra dari kehamilan, atau sedang ihram haji dan umrah, atau karena salah satu mahram, namun ternyata sebaliknya, maka nikahnya batil karena ragu akan kehalalannya.
Ketujuh, pernikahan seorang Muslim dengan perempuan non-Muslim selain Kitabiyyah (ahli kitab) asli, seperti perempuan penyembah berhala, penyembah api (majusi), penyembah matahari, atau perempuan murtad, atau perempuan kitabiyyah tidak murni seperti keturunan antara kitabi dan majusi atau sebaliknya. Hal ini berdasarkan firman Allah, Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman, (QS al-Baqarah [2]: 221).
Maksud perempuan Kitabiyyah adalah perempuan Yahudi dan Nasrani. Perempuan Yahudi boleh dinikah dengan catatan asal-usul agama Yahudi-nya tidak termasuk ke dalam agama Yahudi setelah di-mansukh. Sementara perempuan Nasrani boleh dinikah jika diketahui asal-usul agama Nasrani-nya masuk ke dalam agama Nasrani sebelum di-mansukh, walaupun setelah terjadi perubahan selama mereka berusaha menjauhi ajaran-ajaran yang diubah tersebut.
Dasar kebolehan menikahi keduanya adalah firman Allah, (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatandi antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, (QS al-Maidah [5]: 5). Maksud kitab yang diberikan kepada mereka adalah Taurat dan Injil, namun tidak termasuk kitab-kitab lain, seperti suhuf Nabi Syits, suhuf Nabi Idris, atau suhuf Nabi Ibrahim a.s.
Kedelapan, pernikahan dengan perempuan yang pindah dari satu agama kepada agama lain. Singkatnya, ia tidak boleh dinikah. Singkatnya, tidak boleh diterima agamanya kecuali agama Islam.
Kesembilan, pernikahan seorang Muslimah dengan laki-laki non-Muslim atau pernikahan perempuan yang murtad dengan laki-laki Muslim. Atas dasar ijmak ulama, tidak boleh seorang Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim, sebagaimana dalam Al-Quran, Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin), (QS al-Baqarah [2]: 221).
Bagaimana, jika salah seorang dari suami atau istri ada yang murtad sebelum bergaul suami istri, maka batallah pernikahannya. Adapun setelah bergaul suami-istri, maka harus ditunggu. Jika mereka dipersatukan kembali oleh Islam selama masa iddah, maka langgenglah pernikahnnya. Namun jika tidak, pernikahannya terputus.
Selain pernikahan yang batal, ada lagi pernikahan yang makruh, yaitu pernikahan atas perempuan yang telah dilamar orang lain dan pernikahan muhallil dengan niat menghalalkan perempuan yang telah ditalak tiga tanpa ada syarat harus talak sewaktu akad. Namun, jika pernikahannya dengan syarat, seperti syarat setelah istrinya dicampuri harus ditalak, maka pernikahannya menjadi batal.
Demikian pernikahan-pernikahan yang batal, rusak, dan makruh dalam pandangan Syafi‘iyyah sebagaimana dikutip oleh Syekh al-Zuhaili. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. (NU Online)
Ustadz M. Tatam Wijaya, Alumni Pesantren Raudhatul Hafizhiyyah Sukaraja, Sukabumi; Pengasuh Majelis Taklim “Syubbanul Muttaqin” Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat